PENERAPAN STANDARD PRECAUTIONS;
HAND HYGIENE
PADA PENGUNJUNG SEBAGAI
MANAJEMEN PELAYANAN KEPERAWATAN DALAM MENURUNKAN ANGKA KEMATIAN BAYI (AKB) DI RUMAH SAKIT
Angka Kematian Bayi (AKB) adalah jumlah kematian yang terjadi setelah 1.000
bayi lahir hidup sampai berumur kurang dari satu tahun (Rini & Pupitasari,
2014). AKB merupakan jumlah kematian pada 12 bulan pertama kehidupan per 1.000
kelahiran bayi yang dapat menggambarkan kesehatan umum sebuah negara dan
digunakan sebagai pembanding perawatan kesehatan dengan tahun sebelumnya atau
dengan negara lain (Stright, 2004). AKB adalah tingkat kematian bayi per 1.000
kelahiran hidup dengan usia < 1 tahun, merupakan salah satu indikator status
kesehatan yang berkaitan dengan angka rerata harapan hidup bagi penduduk di
setiap daerah (Pemerintah Propinsi Sulawesi Tengah, 2014).
Hasil survey BKKBN Provinsi Sumatera Selatan (2013) dan Mala (2016)
menyebutkan adanya perbedaan yang besar
untuk tingkat kematian bayi di daerah perkotaan dan pedesaan pada sektor sosial
ekonomi, dimana dua pertiga kematian bayi terjadi di pedesaan (33% berbanding
18%). AKB di Indonesia pada tahun 2011 adalah 25 kematian bayi per 1.000
kelahiran hidup (World Health
Organization, 2012) dan mengalami peningkatan pada tahun 2012 menjadi 32
kematian bayi per 1.000 kelahiran hidup (Kementerian Kesehatan RI, 2013). AKB
di Indonesia masih tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara anggota ASEAN,
yaitu 4,6 kali lebih tinggi dari Malaysia, 1,3 kali lebih tinggi dari Filipina,
dan 1,8 kali lebih tinggi dari Thailand (GOI-UNICEF dalam Bappenas, 2010).
Penelitian Kajian Angka Kematian Bayi di Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah
(Pemerintah Propinsi Sulawesi Tengah, 2014) menyebutkan bahwa kematian bayi
secara tidak langsung dipengaruhi oleh faktor sosial-ekonomi meliputi faktor
maternal, kontaminasi lingkungan, defisiensi nutrisi, faktor pencegahan dan
pengobatan terhadap penyakit, ketersediaan, pemanfaatan, dan kualitas pelayanan
atau perawatan antenatal dan post-natal. Penelitian tersebut menambahkan penyebab
kematian bayi paling tinggi disebabkan karena infeksi. Selain itu, kesehatan
dan kelangsungan hidup bayi, variabel keluarga, konsepsi dan kehamilan,
perinatal, serta norma perawatan bayi juga turut mempengaruhi kematian bayi. (Mahadevan
dalam Rini & Pupitasari, 2014).
Penyebab kematian bayi berupa kontaminasi lingkungan, defisiensi faktor
pencegahan penyakit, dan kualitas pelayanan perawatan bayi memunculkan sebuah
kasus kematian bayi yang akhir-akhir ini menjadi fenomena yang meresahkan baik
bagi masyarakat maupun tenaga kesehatan. Hal ini tentunya dapat mempengaruhi
berjalanannya proses palayanan kesehatan bagi seluruh tenaga kesehatan,
khususnya perawat. Untuk itu, perawat dituntut untuk dapat memberikan perawatan dalam konteks
undang-undang praktik perawat, standar perawatan, dan kebijakan yang disusun
oleh lembaga tempat ia berpraktik (Stright, 2004).
Kasus kematian bayi yang dimaksud terjadi di Amerika Serikat. Kasus Bayi
Mariana Reese Sifrit, seorang bayi usia 18 hari yang meninggal dunia di rumah
sakit, terdiagnosa mengalami meningitis HSV-1 akibat tertular virus herpes
simpleks melalui kontak langsung (ciuman)
para tamu yang berkunjung (UPI dalam news.okezone.com, 19 Juli 2017). Kejadian
tersebut merupakan salah satu bukti bahwa kematian bayi disebabkan karena
buruknya kualitas pelayanan di rumah sakit akibat kontaminasi lingkungan dan defisiensi
faktor pencegahan penyakit, dalam hal ini adalah standard precautions; pencegahan dan pengendalian infeksi. Fenomena
kasus kematian bayi di Amerika Serikat tersebut sesuai dengan studi (Metha,
2010) yang menununjukkan rendahnya penerapan standard precautions di rumah sakit. Oleh sebab itu, sangat dibutuhkan
adanya manajemen pelayanan untuk mencegah dan mengendalikan infeksi di rumah
sakit. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1690
/MENKES/PER/VIII//2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Dalam Bab IV
berisi bahwa pemenuhan sasaran keselamatan pasien, terutama pengurangan risiko
infeksi terkait pelayanan kesehatan bayi diupayakan bagi seluruh rumah sakit
(Permenkes RI, 2011).
Standard precautions adalah kewaspadaan standar yang terdiri dari kegiatan
pencegahan dan pengendalian infeksi di semua fasilitas pelayanan kesehatan (World Health Organization, 2008). Sahara
(2011) mengatakan standard precautions adalah
pencegahan penularan dan pengendalian infeksi secara konsisten di fasilitas
kesehatan oleh pasien dan tenaga kesehatan. Standard
precautions di rumah sakit dijadikan sebagai tolak ukur mutu pelayanan di
rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya (Purnomo, 2016). Penerapan standard precautions di rumah sakit
sangat dipengaruhi oleh manajemen rumah sakit (World Health Organization, 2012). Salah satu komponen dalam
penerapan standard precautions yaitu
kebersihan tangan (Franklin, 2009).
Penerapan standard precautions, khususnya
dalam kebersihan tangan, dapat dilakukan dengan menyediakan fasilitas cuci
tangan di setiap ruang, termasuk ruang tunggu di rumah sakit atau fasilitas
kesehatan lain. Fasilitas cuci tangan yang dimaksud diantaranya air bersih yang mengalir, sabun, dan handuk,
atau minimal tersedianya pembersih tangan dengan kandungan alkohol atau handrub (Duerink, 2006). Penerapan standard precautions tidak hanya
dilakukan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit, tetapi juga melibatkan semua pasien
dan pengunjung yang ada di rumah sakit untuk meminimalkan kejadian Healthcare Associated Infections (HAIs)
atau yang lebih dikenal dengan infeksi nosokomial (Ward, 2012).
Standard precautions yang dapat dilakukan oleh pengunjung adalah dengan hand hygiene (Benson & Powers,
2011). Pengunjung merupakan komponen yang ada di rumah sakit yang dapat
berisiko terkena HAIs atau menjadi sumber HAIs, terutama pengunjung yang bebas
keluar masuk rumah sakit (Notoatmodjo, 2005). Penyebaran HAIs dari pasien atau
pengunjung (39,6%) lebih tinggi dibandingkan dari petugas kesehatan (20,65%)
(Tekereko, 2011). Untuk itu, standard
precautions berupa penerapan hand
hygiene penting untuk melindungi pasien dari infeksi yang bersumber dari
pengunjung atau sebaliknya.
Hand hygiene adalah teknik pencegahan dan pengendalian penularan
infeksi paling penting dan mendasar (Potter & Perry, 2005). Hand hygiene merupakan unsur utama upaya
mengurangi penularan infeksi (Permenkes RI, 2011). Hand hygiene adalah komponen standard
precautions yang paling penting dan merupakan metode paling efektif dalam
pelayanan kesehatan terhadap pencegahan penularan infeksi (World Health Organization, 2008). Hand hygiene berupa tindakan mengeliminasi mikroorganisme di tangan
dengan efektif melalui pembersihan tangan menggunakan handrub atau handsoap (Squires,
et al., 2013).
Hasil observasi Karala & Kurniasari (2015) menunjukkan 6 dari 10
pengunjung tidak mencuci tangan sebelum menjenguk pasien di rawat inap rumah
sakit, dan kepada 4 pengunjung yang mencuci tangan, diamati adanya
ketidaktepatan dalam langkah cuci tangan yang sesuai dengan standar 6 langkah cuci
tangan. Penelitian Fauzia & Handiyani (2014) menyebutkan masih rendahnya
pengetahuan pengunjung rumah sakit terhadap langkah dan alasan pentingnya
melakukan hand hygiene. Penelitian Afifah
(2010) mengungkapkan sebanyak 71,43% keluarga pasien memiliki pengetahuan kebersihan
tangan yang rendah dan sebesar 45,45% tidak memiliki perilaku pencegahan
infeksi nosokomial dengan hand hygiene. Selain
itu, tingkat kepatuhan pengunjung rumah sakit terhadap hand hygiene juga sangat rendah, yaitu hanya 6,1% (Fauzia &
Handiyani, 2014).
Penelitian Chen (2007) mengungkapkan rendahnya tingkat kepatuhan orang tua
pasien dalam melakukan hand hygiene, yaitu
6,6%. Padahal 93,4% keluarga lebih sering kontak langsung dengan pasien. Hal
ini senada dengan penilitian Randle, Arthur, & Vaughan (2010) tentang
kepatuhan hand hygiene pasien dan
pengunjung yang lebih rendah dibandingkan kepatuhan tenaga kesehatan, yaitu
masing-masing 56% dan 57%. Tingkat pengetahuan dan kepatuhan hand hygiene yang sangat rendah memicu
diperlukannya upaya peningkatan pengetahuan dan kesadaran pengunjung rumah
sakit akan pentingnya hand hygiene.
Upaya meningkatkan pengetahuan dan kepatuhan pengunjung rumah sakit dalam
melakukan kebersihan tangan diantaranya dengan pemberian edukasi dan pengingat
verbal bagi setiap keluarga, kerabat, maupun teman pasien yang datang. Hal ini
pernah diterapkan oleh Rogers, et al. dalam penelitiannya pada tahun 2009.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian edukasi dan pengingat verbal dapat
meningkatkan kepatuhan pengunjung dalam hand
hygiene yang dibuktikan dengan adanya perubahan kepatuhan dari 63,3%
menjadi 75,3% (Rogers, et al., 2009).
Pemberian edukasi hand hygiene secara
tertulis dapat dilakukan melalui media poster yang ditempelkan di dinding dekat
pintu masuk tiap bangsal (ruang rawat inap), di dinding dekat tempat mencuci
tangan (wastafel), maupun di dinding dekat handrub
diletakkan. Selain itu, media leaflet
dapat disebarkan kepada seluruh pengunjung di bagian pintu masuk rumah sakit
dan menghimbau pengunjung untuk memerhatikan informasi yang tersedia. Materi
edukasi tentunya berisi tentang pentingnya mencuci tangan, kapan waktu yang
mengharuskan untuk mencuci tangan, langkah cuci tangan yang tepat, berapa lama waktu
yang dibutuhkan untuk mencuci tangan, serta apa saja yang dibutuhkan untuk
mencuci tangan secara aseptik (Karala & Kurniasari, 2015).
Upaya lain yang dapat dilakukan oleh manajer rumah sakit adalah menyediakan
dan melengkapi fasilitas atau sarana untuk mencuci tangan. Kelengkapan
fasilitas tersebut dapat berupa air bersih yang mengalir, sabun antiseptik,
kertas tisu atau handuk, dan handrub atau
handwash (Damanik, dkk, 2011). Pihak
rumah sakit juga perlu terlibat dalam menyediakan tempat mencuci tangan yang
terjangkau dan mudah diakses sehingga penerapan hand hygiene lebih optimal dan sesuai standar.
Selain itu, perawat juga memiliki andil besar untuk memastikan hand hygiene pada pengunjung tetap
berjalan dengan tepat. Perawat sebagai tenaga kesehatan yang lebih dekat dan
lebih sering melakukan perawatan kepada pasien dapat mengambil peran melakukan
supervisi kepada pengunjung dalam mempertahankan agar hand hygiene dapat dilaksanakan dengan benar dan lancar. Supervisi
yang dilakukan perawat tidak hanya sebatas mengamati saja, tetapi juga perawat
dapat memberikan motivasi kepada pasien dan keluarga/pengunjung untuk
bersama-sama menciptakan tindakan pencegahan infeksi dengan patuh dan taat
terhadap pelaksanaan hand hygiene di
rumah sakit sehingga akan mempengaruhi kesadaran pengunjung tentang pentingnya hand hygiene terhadap status kesehatan
pasien (Sitohang, 2016).
Hasil penelitian Benedetta, et al. (2010) menunjukkan
adanya peningkatan kepatuhan hand hygiene
sebesar 8% setelah melakukan beberapa pendekatan yang meliputi fasilitasi
ketersediaan handrub, wastafel, sabun
antiseptik, memberikan edukasi secara berkala, monitoring dan evaluasi
pengetahuan hand hygiene, dan
memberikan reminder sebagai upaya
promosi dan optimalisasi hand hygiene. Sedangkan penelitian Maria (dalam Ernawati, dkk, 2014) menjelaskan
supervisi oleh perawat dapat diterapkan untuk menciptakan patient safety karena supervisi mencerminkan kepatuhan kinerja
perawat terhadap Standar Prosedur Operasional (SPO) (Rumampuk, et al., 2013).
Monitoring atau pengawasan yang berkelanjutan akan mempengaruhi kepatuhan
melakukan hand hygiene karena semakin
dimonitoring, maka akan semakin mendapat dukungan untuk melakukan perubahan
pengetahuan, sikap, dan perilaku (Damanik 2011; Arifin dalam Ernawati, dkk,
2014).
Beberapa upaya yang telah disebutkan di atas dapat
diterapkan oleh semua manajer di rumah sakit. Upaya pemberian edukasi hand
hygiene, pengingat verbal hand hygiene bagi pengunjung, fasilitasi sarana mencuci tangan, dan supervisi pengunjung
terhadap pengetahuan, kemampuan, dan kesadaran melakukan hand hygiene dapat dijadikan pedoman dalam manajemen pelayanan
kesehatan, khususnya manajemen keperawatan untuk menekan angka Healthcare
Associated Infections melalui
penerapan standard precautions yang sesuai
dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1690 tentang Keselamatan Pasien Rumah
Sakit. Sehingga diharapkan tidak ada
lagi kasus kematian bayi di rumah sakit yang terjadi karena buruknya mutu
pelayanan rumah sakit dalam hal patient
safety, hal ini merupakan langkah awal untuk menurunkan angka kematian bayi
di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Afifah, Ika Laila. (2010).
Pengetahuan, sikap, dan tindakan keluarga pasien tentang pencegahan infeksi
nosokomial pada ruang rawat inap kelas iii rumah sakit umum pusat haji adam
malik propinsi sumatera utara tahun 2010. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Bappenas. (2010). Laporan
perkembangan pencapaian tujuan pembangunan milenium indonesia; menurunkan angka
kematian anak. Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS).
Benedetta, Allegranzi., Sax, H., Richet, H., Bengaly, L., Minta, D.K., et
al. (2010). Successful implementation of the world health organization hand
hygiene improvement strategy in a referral hospital in mali, africa. Infection Control and Hospital
Epidemiology. Vol. 31. No. 2. Hal. 133-141.
Benson, S., &
Powers, J. (2011). Your role in infection
prevention: nursing made increadible easy. United State of America:
Lippicontt Williams & Wilkins.
BKKBN Provinsi
Sumatera Selatan. (2013). Survei
demografi dan kesehatan indonesia 2012. Provinsi Sumatera Selatan.
Chen. (2007).
Effectiveness of hand-washing teaching programs from families of children in
paediatric intensive care units. Journal
of Clinical Nursing. Doi: 10.1111/j.1365-2702.2006.01665.
Damanik, S.M.,
Susilaningsih, F.S., Amrullah A.A. (2011). Kepatuhan
hand hygiene di rumah sakit immanuel bandung. Bandung: Universitas
Padjajaran.
Duerink, D.O.
(2006). Preventing nosocomial infections: improving complance with standard
precautins in an indonesia teaching hospital. Journal of Hospital Infection. Vol. 64. Hal. 36-43.
Ernawati, Elies., Tasih Tri R., Wiyanto, Satra. (2014). Penerapan hand
hygiene perawat di ruang rawat inap rumah sakit. Jurnal Kedokteran Brawijaya. Vol. 28. No. 1. Hal. 89-94.
Fauzia, Siti
Sarah., & Handiyani, Hanny. (2014). Tingkat
pengetahuan dan perilaku kebersihan tangan pada pengunjung rumah sakit.
Depok: Universitas Indonesia.
Franklin, Okechukwu
Emeka. (2009). The knowledge and practice
of standard precautions among health care workers in public secondary health
facilities in abuja. Nigeria: University of South Africa.
Karala, Anend.,
& Kurniasari, Novita. (2015). Gambaran
pelaksanaan cuci tangan pengunjung di bangsal ar royan rs pku muhammadiyah
yogyakarta unit ii. Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Kementerian
Kesehatan RI. (2013). Profil kesehatan
indonesia 2012. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Mala, Viya Yanti.
(2016). Policy brief; analisa penyebab
angka kematian bayi (akb) 2015; intervensi program kkb dalam mencapai sasaran
mdg’s. Palembang: Bidang Pelatihan dan Pengembangan Perwakilan BKKBN
Provinsi Sumatera Selatan.
Metha, A. (2010).
Intervention to reduce needlenstick injuries at a tertary care centre. Indian Journal of Medical Microbiology. Vol. 1. No. 28. Hal. 17-20.
Notoatmodjo, S.
(2005). Metodologi penelitian kesehatan.
Jakarta: Rineka Cipta.
Okezone News. (19
Juli 2017). Astaga! Bayi Baru Lahir Ini Meninggal karena Dicium. Diakses
Tanggal 18 September 2017 pada
https://news.okezone.com/read/2017/07/19/18/1739782/astaga-bayi-baru-lahir-ini-meninggal-karena-dicium.
Pemerintah Propinsi
Sulawesi Tengah. (2014). Kajian angka
kematian bayi di kabupaten donggala sulawesi tengah. Yogyakarta: Pusat
Kesehatan Reproduksi FK UGM.
Permenkes RI.
(2011). Keselamatan pasien rumah sakit. Jakarta:
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
Potter & Perry.
(2005). Buku ajar fundamental keperawatan;
konsep, proses & praktik. Edisi 4. Vol 1. Jakarta: EGC.
Purnomo, Roni.
(2016). Analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan perawat
pelaksana dalam penerapan standard precautions di rsud banyumas. Journal of Nursing and Health (JNH). Vol.
2. No. 1. Hal. 41-45.
Randle, J., Arthur,
A., & Vaughan, N. (2010). Twenty-four-hour observational study of hospital
hand hygiene compliance. The Journal of
Hospital Infection. Vol. 76. No. 3. Hal. 252-255.
Rini, Dwi Setyo.,
& Pupitasari Nunik. (2014). Hubungan status kesehatan neonatal dengan
kematian bayi. Jurnal Biometrika dan
Kependudukan. Vol. 3. No. 1. Hal. 73-80.
Rogers, K., Bsn,
R.N., Heath, J., Bs, K.A., Ba, L.H., et al. (2009). Improving family and
visitors hand hygiene in a pediatric tertiary care hand hygiene before patient
care. American Journal of Infection
Control. Vol. 39. No. 5.
Rumampuk, Maria Vonny H., Budu., & Nontji, Werna. (2013). Peran kepala ruangan melakukan supervisi
perawat dengan penerapan patient safety di ruang rawat inap rumah sakit.
Makassar: Universitas Hasanuddin.
Sahara, Ayu.
(2011). Faktor-faktor yang berhubungan
dengan kepatuhan perawat dan bidan dalam penerapan kewaspadaan universal /
kewaspadaan standar di rumah sakit palang merah indonesia bogor tahun 2011. Depok:
Universitas Indonesia.
Sitohang, R. (2016).
Hubungan pengawasan kepala ruangan dengan tindakan mencuci tangan perawat di
rumah sakit mitra sejati medan. Jurnal
Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Hal. 14-26.
Squires, Janet E.,
Suh, Kathryn N., Linklater, Stefanie., Bruce, Natalie., Gartke, Kathleen., et
al. (2013). Improving physician hand
hygiene compliance using behavioural theories; a study protocol.
Stright, Barbara R.
(2004). Panduan belajar; keperawatan
ibu-bayi baru lahir. Edisi 3. Jakarta: EGC.
Tekereko, M.S.
(2011). Do mobile phones of patients, companions and visitors carry
multidrug-resistant hospital pathogens? American
Journal of Infection Control. Hal. 379-381.
Ward, D. (2012).
Attitudes towards the infection prevention and control nurse: an interview
study. Journal of Management. Vol.
20. No. 5.
World Health
Organization. (2008). Pencegahan dan
pengendalian infeksi. Jakarta: Trust Indonesia.
_______________________.
(2012a). Levels & trends in child
mortality. New York: United Nations Childrenis Fund.
_______________________.
(2012b). Prevention of hospital-acquired
infections a practical guide. Edisi 2. Department of Communicable Disease,
Surveilance, and Response.
0 komentar:
Post a Comment
Your comments will make my days^^