IDENTITAS
Identitas artikel jurnal 1
Judul : Effect
of Music on Postoperative Pain in Patients Under Open Heart Surgery
Penulis : Neda
Mirbagher Ajorpaz, Abouzar Mohammadi, Hamed Najaran, dan Shala Khazaei
Jurnal : Nurs
Midwifery Stud Nomor 3, Volume 3, Halaman 1 – 6, Tahun 2014
Identitas artikel jurnal 2
Judul : Effects
of Music Therapy on Pain, Anxiety, and Vital Signs in Patients After Thoracic
Surgery
Penulis : Yang Liu dan Marcia A. Petrini
Jurnal : Complementary
Therapies in Medicine Volume 23, Halaman 714 – 718, Tahun 2015
RESUME
Penyakit kardiovaskuler (jantung-pembuluh darah)
merupakan salah satu penyakit yang menjadi penyebab utama kematian di dunia dengan
angka kematian tertinggi (Parsa, et al, 2012 dalam Ajorpaz, et al, 2014). Salah
satu penyakit pada jantung adalah penyakit jantung koroner, yaitu suatu kondisi
dimana terdapat penyempitan pada pembuluh darah arteri yang memperdarai jantung.
Penatalaksanaan pada penyakit ini yaitu dengan terapi medikasi. Namun, apabila
tidak berhasil atau tidak ada pengaruh yang signifikan, maka harus dilakukan
operasi Coronary Artery Bypass Graft (CABG) (Allred, et al, 2010 dalam
Ajorpaz, et al, 2014). CABG merupakan prosedur pembedahan jantung untuk membuat
pembuluh darah baru agar dapat melewati arteri yang mengalami penyempitan atau
tersumbat dengan menggunakan pembuluh darah bagian tubuh yang lain. Sama halnya
dengan CABG, prosedur pembedahan dinding dada atau disebut dengan torakotomi juga
seringkali dilakukan mengingat banyaknya masalah pada jantung maupun pembuluh
darah pada jantung.
Kedua prosedur di atas menimbulkan
ketidaknyamanan yang berat yang akan dirasakan oleh pasien setelah menjalani
operasi. Nyeri merupakan suatu manifestasi yang pasti muncul akibat prosedur
pembedahan (Rosenquist, et al, 2003 dalam Liu, et al, 2015). Sebanyak lebih
dari 80% pasien yang menjalani operasi mengalami nyeri akut sedang hingga berat
(Allred, et al, 2010 dalam Ajorpaz, et al, 2014). Nyeri yang timbul pada pasien
post operasi baik CABG maupun torakotomi rata-rata diakibatkan oleh insisi dan
prosedur invasif (Short, et al, 2013 dalam Ajorpaz, et al, 2014; Soto, et al,
2003 dalam Liu, et al, 2015). Ketidaknyamanan akibat nyeri akut (sedang-berat)
dapat mempengaruhi perubahan klinis dan psikologis pasien, seperti meningkatkan
angka kesakitan, kematian, biaya yang dikeluarkan semakin tinggi, dan menurunkan
kualitas hidup pasien (Choiniere, et al, 2014 dalam Ajorpaz, et al, 2014).
Nyeri yang timbul post operasi mempengaruhi lama penyembuhan atau
pemulihan kondisi dan kepuasan pasien karena nyeri menghambat hampir setiap
aktivitas biologis dan aktivitas sehari-hari pasien (Li XM, et al, 2012 dalam
Liu, et al, 2015; Sharpley, et al, 2009; Bauer, et al, 2011 dalam Ajorpaz, et
al, 2014). Selain nyeri, manifestasi klinis yang muncul pada pasien post operatif
adalah kecemasan dan ketidakstabilan tanda-tanda vital yang tentunya akan
mempengaruhi recovery pasien. Nyeri biasanya diikuti dengan kecemasan yang
akan semakin tinggi apabila pasien berada di rumah sakit (Bernason, et al,
1995; Bernatzky, et al, 2011 dalam Liu, et al, 2015).
Manajemen perawatan di rumah sakit yang tidak
efektif akan menimbulkan berbagai masalah kesehatan lain, seperti trombosis
vena, emboli paru, iskemia jantung, infark miokard, pneumonia, penyembuhan luka
yang kurang baik, insomnia, dan penurunan moral (Englbrecht, et al, 2014 dalam
Ajorpaz, et al, 2014). Dikarenakan manajemen perawatan di rumah sakit sangat
berhubungan dengan respon kenyamanan pasien, seperti kecemasan dan tanda-tanda
vital, khususnya tingkat nyeri pasien, maka sangat dibutuhkan manajemen post operatif
yang efektif mereduksi ketidaknyamanan yang dirasakan pasien dan efektif
memulihkan keadaan pasien.
Terapi musik merupakan salah satu intervensi non
farmakologi yang paling banyak digunakan dalam parktek klinik karena mudah
dilakukan, membutuhkan biaya yang sedikit, dan tidak menimbulkan efek samping
yang serius (Agwu, et al, 2007 dalam Liu, et al, 2015). Terapi musik merupakan
intervensi keperawatan non invasif yang efektif diterapkan dalam jangka waktu
yang lama (Allred, et al, 2010; Comeaux T, 2013 dalam Ajorpaz, et al, 2014).
Berdasarkan hasil penelitian, mendengarkan musik terbukti efektif meningkatkan
ketenangan dan kenyamanan, mengurangi nyeri, distress, kecemasan, meningkatkan
suasana hati dan emosi yang positif, dan mampu menurunkan gejala psikologi (Cooke,
et al, 2005; Bruscia, et al, 2009; Li XM, et al, 2012; Chaput, et al, 2012 dalam
Liu, et al, 2015) karena musik dapat merangsang meningkatnya hormon endorfin
dan mioresptor pada permukaan sel-sel tubuh (Abrams B, 2010 dalam Ajorpaz, et al,
2014).
Berdasarkan alasan di atas, maka penulis dalam
kedua artikel jurnal melakukan studi tentang pemberian terapi musik sebagai
upaya manajemen nyeri post operatif. Tujuan dilakukan studi pada artikel jurnal
1 adalah untuk mengetahui dan meneliti keefektifan terapi musik terhadap nyeri
post operatif pada pasien setelah menjalani operasi jantung terbuka, sedangkan
tujuan dilakukan studi pada artikel jurnal 2 adalah untuk menilai efektivitas
mendengarkan musik terhadap nyeri, kecemasan, dan tanda-tanda vital pada pasien
setelah operasi toraks (pembedahan dinding dada) di China. Kedua artikel jurnal
sama-sama mengidentifikasi adakah pengaruh dan seberapa besar efektivitas
pemberian intervensi berupa terapi musik terhadap intensitas nyeri pada pasien
yang telah menjalani operasi.
Dalam artikel jurnal 1, penulis melakukan studi
kuasi eksperimental dengan melibatkan 60 pasien di ICU dalam Shahid Beheshti
Hospital di Kota Kashan sepanjang tahun 2012 hingga 2013. Penulis menetapkan
responden berdasarkan kriteria inklusi, yaitu berusia antara 18 sampai 60
tahun, memiliki tingkat kesadaran penuh, mampu menulis dan membaca dengan baik,
mengalami nyeri akut sedang sampai berat (bukan nyeri kronik) yang diukur
menggunakan Visual Analog Scale (VAS, yaitu salah satu instrumen untuk
mengukur skala nyeri), tidak sedang mengkonsumsi sedatif dan alkohol, tidak
memiliki gangguan mental dan masalah pendengaran, memiliki nilai hemodinamik
yang stabil, dan menjalani operasi jantung untuk pertama kalinya (CABG ataupun
penggantian katup jantung). Pasien yang terpasang ventilator dan yang sedang
mendapatkan terapi manajemen nyeri (selain terapi musik dan terapi obat)
termasuk ke dalam kriteria eksklusi dalam studi ini.
Dalam artikel jurnal 2, penulis menggunakan
studi randomized controlled trial dengan desain repeated measures yang
melibatkan 112 pasien pada 2 Rumah Sakit Tersier di Wuhan, China selama bulan
November 2013 hingga bulan Maret 2014. Penulis menetapkan responden berdasarkan
kriteria inklusi, yaitu pasien yang terdaftar menjalani operasi toraks, berusia
minimal 18 tahun, memiliki tingkat kesadaran penuh, berorientasi baik terhadap
orang, waktu, tempat, dan situasi, mampu membaca dan berbicara dengan bahasa
Cina, memahami Bahasa Cina dengan baik sehingga mampu bekerja sama dalam
melengkapi kuesioner dan informed consent. Sedangkan kriteria eksklusi
dalam studi ini yaitu pasien dengan gangguan penglihatan dan pendengaran, tidak
mampu melengkapi kuesioner dari penulis, tidak ingin berpartisipasi menjadi
responden, serta pasien yang sedang menjalani operasi kegawatan atau pasien
yang dipindahkan ke ruang ICU akibat status kesehatan yang memburuk.
Penulis pada artikel jurnal 1 membagi secara
acak 60 responden menjadi dua kelompok, yaitu 30 pasien sebagai kelompok
eksperimen dan 30 pasien lainnya sebagai kelompok kontrol, kemudian
mengumpulkan data responden yang meliputi data demografi (usia, jenis kelamin,
status perkawinan, jenis operasi, tingkat pendidikan) dan skala nyeri pasien
(VAS). Penulis memilih penggunaan VAS sebagai instrumen untuk menilai skala
nyeri karena telah teruji validitas dan reliabilitasnya (Etri, et al, 2012; Xu
X, et al, 2013 dalam Ajorpaz, et al, 2014). Data yang diperoleh penulis
dianalisis menggunakan aplikasi SPSS versi 14. Data dengan distribusi yang
normal diolah menggunakan Kolmogorov-Smirnov test, sedangkan data dengan
distribusi yang tidak normal diolah menggunakan Mann-Whitney-U test. Untuk
membandingkan nominal variabel pada kedua kelompok, digunakan Chi-square dan
Independent t-test. Independent t-test juga digunakan untuk
membandingkan perbedaan statistik nilai intensitas nyeri pada kedua kelompok.
Dikatakan memiliki perbedaan yang signifikan apabila nilai p value < 0,05.
Penulis pada artikel jurnal 2 membagi 112
responden menjadi dua kelompok berdasarkan hari masuk / pendaftaran ke rumah
sakit. Kelompok eksperimen terdiri dari
56 pasien yang masuk rumah sakit pada tanggal ganjil, sedangkan kelompok
kontrol terdiri atas 56 pasien yang masuk rumah sakit pada tanggal genap.
Penulis menggunakan Faces Pain Scale (FPS) sebagai instrumen nyeri
karena terbukti valid, reliabel, dinilai paling akurat dan mudah dipahami untuk
menilai nyeri pada pasien dewasa dan pasien dengan penyakit berat (Liu Y, et
al, 2009; Stuppy DJ, 1998 dalam Liu, et al, 2015). Instrumen yang digunakan
untuk mengukur tingkat kecemasan adalah The State-trait Anxiety Inventory (STAI). Tanda-tanda vital yang
diukur meliputi tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, denyut jantung
(Heart Rate), dan frekunsi pernapasan (Respiratory Rate) dimana
pengukuran menggunakan sphygmomanometer dan stopwatch. Dilakukan
juga pemantauan penggunaan Diclofenac Sodium Suppository (DSS) dan Patient
Controlled Analgesia (PCA) untuk mengetahui apakah pasien membutuhkan
opioid atau analgesik lebih sedikit atau sebaliknya.
Data yang diperoleh penulis dianalisis
menggunakan aplikasi SPSS versi 21. Karakteristik responden dan hasil studi akan
dianalisis menggunakan Descriptive Statistics. Ada tidaknya perbedaan
yang signifikan pada data demografi diantara kedua kelompok dianalisis
menggunakan Chi-square test. Ada tidaknya perbedaan yang signifikan pada
tingkat kecemasan dan nilai tanda-tanda vital dianalisis menggunakan Independent t-test. Tingkat kecemasan dan
tanda-tanda vital dinilai dan dianalisis menggunakan Repeated Measures of
Analysis of Variance (RENOVA). Ada tidaknya perbedaan yang signifikan pada
nilai intensitas nyeri dianalisis menggunakan model pendekatan marginal (GEE analysis). Dikatakan
memiliki perbedaan yang signifikan apabila nilai p value < 0,05.
Dalam artikel jurnal 1, studi dilakukan setelah
mendapat persetujuan oleh deputi penelitian dan komite etik Ilmu Medis Universitas Kashan, telah memperoleh
persetujuan responden yang dibuktikan dengan lembar informed consent,
serta telah dilakukannya penjelasan mengenai protokol dan prosedur oleh penulis
kepada responden. Pengambilan data dilakukan ketika ICU dalam keadaan tidak
ramai, sekitar pukul 3 p.m. dan 4 p.m. dimana pasien sedang tidak dalam menjalani
prosedur invasif maupun non invasif. Setiap responden, baik dalam kelompok
eksperimen maupun kontrol, tetap mendapat perawatan standar (meliputi medikasi 50
mg Pethidine, beta receptor blocker, dan 3-5 L/menit oksigen) dan dibawah
pengawasan dokter spesialis kardiovaskuler.
Sebelum dilakukan intervensi, penulis memberikan
bantuan dengan memposisikan responden serileks dan senyaman mungkin. Pada
kelompok eksperimen, responden diberikan headphone dan diperdengarkan
musik sedatif selama 30 menit, dimana volume diatur oleh responden. Musik
sedatif adalah jenis musik yang tidak terkandung lirik, ritme, dan perkusi di
dalamnya, namun hanya terdapat melodi dengan kecepatan 60 – 80 kali per menit.
Musik sedatif tersebut merupakan musik yang dipillih oleh ahli musik dan
dipertimbangkan berdasarkan faktor budaya. Sedangkan, kelompok kontrol hanya
diberikan headphone tanpa diperdengarkan musik. Selama intervensi,
penulis menciptakan lingkungan yang mendukung ketenangan dengan menutup pintu
dan memberikan tanda agar setiap pengunjung maupun petugas kesehatan tidak
membuat kebisingan dan keributan. Setelah intervensi selesai dilakukan, penulis
segera mengevaluasi intensitas nyeri pada kedua kelompok dengan penilaian
menggunakan VAS.
Dalam artikel jurnal 2, studi dilakukan setelah
mendapat persetujuan etik oleh kepala rumah sakit dan The Human Ethical
Committe of Wuhan University HOPE School of Nursing, responden telah memenuhi
kriteria inklusi dan memperoleh persetujuan yang dibuktikan dengan lembar informed
consent, telah dilakukannya penjelasan mengenai protokol dan prosedur oleh
penulis kepada responden, termasuk mengenai data-data demografi pasien. Pengambilan
data atau intervensi dilakukan selama tiga hari. Penulis melakukan pre-test
kepada kedua kelompok (eksperimen dan kontrol) dengan mengkaji nilai nyeri,
kecemasan, dan tanda-tanda vital. Kemudian, melakukan intervensi pada kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol. Setelah intervensi selesai dilakukan, penulis
segera melakukan post-test kepada kedua kelompok (eksperimen dan kontrol) dengan mengevaluasi nilai nyeri, kecemasan,
dan tanda-tanda vital. Penulis memberikan musik kepada responden pada kelompok
kontrol yang menginginkan dan meminta musik.
Kelompok eksperimen diberikan intervensi dengan pemutaran
musik yang diberikan melalui earphones. Musik yang digunakan adalah
musik lembut atau soft music selama 30 menit dengan kecepatan 60 – 80
kali per menit, dimana responden lah yang melakukan pengaturan volume. Soft music
adalah jenis musik yang memiliki ritme dan
melodi yang mampu memberikan efek tenang dan konsentrasi yang baik (MacClelland,
1982 dalam Liu, et al, 2015). Sedangkan, kelompok kontrol hanya diberikan
perawatan standar tanpa intervensi terapi musik. Selama intervensi, penulis
menciptakan lingkungan dengan baik seperti me-non-aktifkan handphone, menutup
pintu, mengeliminasi distraksi, dan menjaga responden terhadap pengalihan /
distraksi. Penulis juga memandu responden pada kelompok eksperimen untuk
bernapas dengan halus / tenang, tetap rileks, dan fokus terhadap musik.
Dalam artikel jurnal 1, diperoleh sebanyak 43,3%
responden berusia 50-65 tahun dan 56,6% berjenis kelamin laki-laki yang
berstatus menikah. Hasil studi menunjukkan tidak adanya perbedaan yang
signifikan terhadap nilai intensitas nyeri pada kedua kelompok sebelum
dilakukan intervensi karena nilai p value 0,21. Namun, terdapat temuan
perbedaan yang signifikan terhadap nilai intensitas nyeri pada kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol post intervention dimana nilai p value
yaitu 0,04. Selain itu, nilai signifikan juga diperoleh dari perbandingan nilai
rata-rata intensitas nyeri sebelum dan sesudah dilakukan intervensi terapi
musik selama 30 menit pada kelompok eksperimen dengan nilai p value 0,01. Hasil
tersebut menjelaskan bahwa musik mampu menurunkan nyeri pasien setelah
dilakukannya operasi jantung terbuka.
Efektivitas terapi musik kemungkinan akan
berbeda apabila pemberian musik dilakukan pada waktu yang tidak tepat, budaya
pasien yang tidak sama, dan jenis penyakit yang berbeda. Terdapat hubungan
antara musik dengan ketenangan pasien (Woldendorp, et al, 2013 dalam Ajorpaz,
et al, 2014). Semakin baik musik yang dipilih (musik kesukaan pasien), maka
pasien akan semakin merasa tenang / rileks. Setiap jenis musik mampu memberikan
pengaruh yang positif terhadap penurunan intensitas nyeri post operatif apabila
musik yang diberikan sesuai dengan budaya lokal dan nasional pasien, diberikan
selama 30 menit atau lebih dengan kondisi pasien yang mampu kooperatif untuk berkonsentrasi
penuh terhadap intervensi yang diberikan (Chlan, et al, 2013 dalam Ajorpaz, et
al, 2014). Musik sedatif merupakan jenis musik yang lebih disenangi karena
mampu merilekskan tubuh dan memfokuskan konsentrasi pasien sehingga nyeri akan
terdistraksi dari pikiran dan persepsi pasien (Chlan, et al, 2013; Gelinas, et
al, 2013; Chen, et al, 2014 dalam Ajorpaz, et al, 2014).
Dalam artikel jurnal 2, diperoleh rata-rata
responden berjenis kelamin laki-laki dengan tingkat pendidikan SD dan berstatus
menikah. Hasil studi menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan terhadap
skala nyeri, kecemasan, tekanan darah sistolik, dan Heart Rate pada kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol dimana nilai p value menunjukkan 0,019. Namun,
tidak terdapat perbedaan yang signifikan terhadap tekanan darah diastolik, Respiratory
Rate, penggunaan Diclofenac Sodium Suppository (DSS) dan Patient
Controlled Analgesia (PCA) karena p value lebih dari 0,05, yaitu 0,59. Akan
tetapi, dari total 56 responden pada kelompok eksperimen, terdapat 42 pasien
mengatakan bahwa mereka menyukai musik yang diperdengarkan, 32 pasien
mengatakan nyerinya berkurang, dan 36 pasien menyatakan kecemasan berkurang
setelah mendengarkan musik.
Terdapat beberapa kekurangan dalam artikel jurnal
1, diantaranya studi dilakukan hanya pada satu area ICU dalam satu rumah sakit (karena
pengumpulan data pun dilakukan hanya oleh satu orang) sehingga hasil belum
tentu efektif apabila diterapkan di ruang ICU pada rumah sakit lain. Kemudian,
pemilihan musik didasarkan oleh ahli musik dengan pertimbangan faktor budaya.
Hal ini membatasi hak pasien untuk memilih musik sesuai dengan kesukaan dan mood
pasien. Selain itu, pertimbangan faktor budaya oleh ahli musik belum tentu
tepat apabila dikaitkan dengan kondisi pasien secara khusus. Kekurangan
selanjutnya yaitu penulis hanya mengevaluasi nilai nyeri yang dibandingkan pada
kelompok eksperimen-kontrol dan pre-post intervensi, namun tidak
mengevaluasi nilai lain yang juga berpengaruh terhadap recovery pasien,
seperti tingkat kecemasan dan nilai tanda-tanda vital. Dalam penulisan studi
ini, penulis hanya menunjukkan waktu studi sepanjang tahun 2012 hingga 2013,
tidak menjelaskan kapan studi mulai dilakukan dan kapan tepatnya studi
berakhir. Hal ini dapat mempengaruhi perbedaan persepsi bagi setiap pembaca.
Terdapat beberapa kekurangan dalam artikel
jurnal 2, diantaranya pemilihan musik didasarkan
oleh pilihan penulis. Hal ini membatasi hak pasien untuk memilih musik sesuai
dengan kesukaan dan mood pasien sehinga memungkinkan dapat mengganggu atau
mengurangi keefektifan dari terapi musik. Kekurangan selanjutnya yaitu terdapat
ketidakadilan perlakuan pada kelompok kontrol. Kelompok kontrol sejatinya
memang tidak mendapat perlakuan khusus layaknya pada kelompok eksperimen.
Namun, penulis sedikit menyeimbangkan atensi dengan memberikan musik kepada responden kelompok kontrol yang meminta musik tersebut. Terakhir,
penulis hanya melakukan intervensi selama tiga hari. Berdasarkan studi
sebelumnya, keefektifan terapi musik akan lebih baik apabila diterapkan dalam
jangka waktu yang lama. Namun, hal ini bukan merupakan kekurangan yang menjadi
masalah.
Manajemen rumah sakit dalam mengatasi nyeri pada
pasien post operatif adalah dengan memberikan terapi medikasi. Padahal, banyak
penatalaksanaan non farmakologi yang mampu mengatasi nyeri post operatif.
Selain biaya lebih terjangkau, penatalaksanaan non farmakologi juga memiliki
efek samping yang lebih sedikit. Penatalaksanaan non farmakologi sering dikenal
dengan istilah terapi komplementer. Salah satu jenis terapi komplementer adalah
terapi musik. Dalam melakukan terapi musik, perlu diperhatikan pemilihan jenis
musik, misalnya musik sedatif, soft musik, atau jenis musik lainnya yang
tentunya disesuaikan dengan pilihan pasien, familiar bagi pasien, dan sesuai dengan
konteks budaya pasien.
Berdasarkan kedua artikel jurnal yang dianalisis,
terdapat banyak manfaat yang diperoleh. Terapi musik terbukti dapat dijadikan
intervensi keperawatan non invasif untuk mengurangi nyeri. Selain mudah
diimplementasikan, terapi musik juga mudah dipelajari, dan aman dilakukan
karena tidak memunculkan efek samping. Terapi musik juga dapat diberikan
sebagai intervensi mandiri maupun kolaborasi dengan metode lain. Efektivitas terapi
musik dibuktikan dengan penurunan intensitas nyeri, kecemasan, peningkatan
derajat ketenangan pasien, dan kestabilan tanda-tanda vital pasien, khususnya
tekanan darah sistolik dan HR pasien. Diharapkan bagi perawat rumah sakit,
perawat ICU khususnya untuk dapat memberikan terapi musik sebagai intervensi
keperawatan pada pasien post operatif karena selain terbukti mampu menurunkan
intensitas nyeri, juga dapat mereduksi kecemasan dan merilekskan pasien
sehingga akan lebih mudah mencapai recovery pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Ajorpaz, Neda Mirbagher., Mohammadi, Abouzar., Najaran, Hamed., dan
Khazaei Shala. (2014). Effect of music on postoperative pain in patients under
open heart surgery. Nurs Midwifery Stud, Volume 3, Nomor 3, Halaman 1 –
6.
Liu, Yang., dan Petrini, Marcia A. (2015). Effects of music therapy on
pain, anxiety, and vital signs in patients after thoracic surgery. Complementary
Therapies in Medicine, Volume 23, Halaman 714 – 718.
0 komentar:
Post a Comment
Your comments will make my days^^