Saturday, April 14, 2018

Music Therapy for Pain in Postoperative Patients

Diposkan oleh Unknown di 11:12 pm



IDENTITAS
Identitas artikel jurnal 1
Judul                 : Effect of Music on Postoperative Pain in Patients Under Open Heart Surgery
Penulis               : Neda Mirbagher Ajorpaz, Abouzar Mohammadi, Hamed Najaran, dan Shala Khazaei
Jurnal                 : Nurs Midwifery Stud Nomor 3, Volume 3, Halaman 1 – 6, Tahun 2014

Identitas artikel jurnal 2
Judul                 : Effects of Music Therapy on Pain, Anxiety, and Vital Signs in Patients After Thoracic Surgery
Penulis               : Yang Liu dan Marcia A. Petrini
Jurnal                 : Complementary Therapies in Medicine Volume 23, Halaman 714 – 718, Tahun 2015

RESUME

Penyakit kardiovaskuler (jantung-pembuluh darah) merupakan salah satu penyakit yang menjadi penyebab utama kematian di dunia dengan angka kematian tertinggi (Parsa, et al, 2012 dalam Ajorpaz, et al, 2014). Salah satu penyakit pada jantung adalah penyakit jantung koroner, yaitu suatu kondisi dimana terdapat penyempitan pada pembuluh darah arteri yang memperdarai jantung. Penatalaksanaan pada penyakit ini yaitu dengan terapi medikasi. Namun, apabila tidak berhasil atau tidak ada pengaruh yang signifikan, maka harus dilakukan operasi Coronary Artery Bypass Graft (CABG) (Allred, et al, 2010 dalam Ajorpaz, et al, 2014). CABG merupakan prosedur pembedahan jantung untuk membuat pembuluh darah baru agar dapat melewati arteri yang mengalami penyempitan atau tersumbat dengan menggunakan pembuluh darah bagian tubuh yang lain. Sama halnya dengan CABG, prosedur pembedahan dinding dada atau disebut dengan torakotomi juga seringkali dilakukan mengingat banyaknya masalah pada jantung maupun pembuluh darah pada jantung.
Kedua prosedur di atas menimbulkan ketidaknyamanan yang berat yang akan dirasakan oleh pasien setelah menjalani operasi. Nyeri merupakan suatu manifestasi yang pasti muncul akibat prosedur pembedahan (Rosenquist, et al, 2003 dalam Liu, et al, 2015). Sebanyak lebih dari 80% pasien yang menjalani operasi mengalami nyeri akut sedang hingga berat (Allred, et al, 2010 dalam Ajorpaz, et al, 2014). Nyeri yang timbul pada pasien post operasi baik CABG maupun torakotomi rata-rata diakibatkan oleh insisi dan prosedur invasif (Short, et al, 2013 dalam Ajorpaz, et al, 2014; Soto, et al, 2003 dalam Liu, et al, 2015). Ketidaknyamanan akibat nyeri akut (sedang-berat) dapat mempengaruhi perubahan klinis dan psikologis pasien, seperti meningkatkan angka kesakitan, kematian, biaya yang dikeluarkan semakin tinggi, dan menurunkan kualitas hidup pasien (Choiniere, et al, 2014 dalam Ajorpaz, et al, 2014).
Nyeri yang timbul post operasi mempengaruhi lama penyembuhan atau pemulihan kondisi dan kepuasan pasien karena nyeri menghambat hampir setiap aktivitas biologis dan aktivitas sehari-hari pasien (Li XM, et al, 2012 dalam Liu, et al, 2015; Sharpley, et al, 2009; Bauer, et al, 2011 dalam Ajorpaz, et al, 2014). Selain nyeri, manifestasi klinis yang muncul pada pasien post operatif adalah kecemasan dan ketidakstabilan tanda-tanda vital yang tentunya akan mempengaruhi recovery pasien. Nyeri biasanya diikuti dengan kecemasan yang akan semakin tinggi apabila pasien berada di rumah sakit (Bernason, et al, 1995; Bernatzky, et al, 2011 dalam Liu, et al, 2015).
Manajemen perawatan di rumah sakit yang tidak efektif akan menimbulkan berbagai masalah kesehatan lain, seperti trombosis vena, emboli paru, iskemia jantung, infark miokard, pneumonia, penyembuhan luka yang kurang baik, insomnia, dan penurunan moral (Englbrecht, et al, 2014 dalam Ajorpaz, et al, 2014). Dikarenakan manajemen perawatan di rumah sakit sangat berhubungan dengan respon kenyamanan pasien, seperti kecemasan dan tanda-tanda vital, khususnya tingkat nyeri pasien, maka sangat dibutuhkan manajemen post operatif yang efektif mereduksi ketidaknyamanan yang dirasakan pasien dan efektif memulihkan keadaan pasien.
Terapi musik merupakan salah satu intervensi non farmakologi yang paling banyak digunakan dalam parktek klinik karena mudah dilakukan, membutuhkan biaya yang sedikit, dan tidak menimbulkan efek samping yang serius (Agwu, et al, 2007 dalam Liu, et al, 2015). Terapi musik merupakan intervensi keperawatan non invasif yang efektif diterapkan dalam jangka waktu yang lama (Allred, et al, 2010; Comeaux T, 2013 dalam Ajorpaz, et al, 2014). Berdasarkan hasil penelitian, mendengarkan musik terbukti efektif meningkatkan ketenangan dan kenyamanan, mengurangi nyeri, distress, kecemasan, meningkatkan suasana hati dan emosi yang positif, dan mampu menurunkan gejala psikologi (Cooke, et al, 2005; Bruscia, et al, 2009; Li XM, et al, 2012; Chaput, et al, 2012 dalam Liu, et al, 2015) karena musik dapat merangsang meningkatnya hormon endorfin dan mioresptor pada permukaan sel-sel tubuh (Abrams B, 2010 dalam Ajorpaz, et al, 2014).
Berdasarkan alasan di atas, maka penulis dalam kedua artikel jurnal melakukan studi tentang pemberian terapi musik sebagai upaya manajemen nyeri post operatif. Tujuan dilakukan studi pada artikel jurnal 1 adalah untuk mengetahui dan meneliti keefektifan terapi musik terhadap nyeri post operatif pada pasien setelah menjalani operasi jantung terbuka, sedangkan tujuan dilakukan studi pada artikel jurnal 2 adalah untuk menilai efektivitas mendengarkan musik terhadap nyeri, kecemasan, dan tanda-tanda vital pada pasien setelah operasi toraks (pembedahan dinding dada) di China. Kedua artikel jurnal sama-sama mengidentifikasi adakah pengaruh dan seberapa besar efektivitas pemberian intervensi berupa terapi musik terhadap intensitas nyeri pada pasien yang telah menjalani operasi.
Dalam artikel jurnal 1, penulis melakukan studi kuasi eksperimental dengan melibatkan 60 pasien di ICU dalam Shahid Beheshti Hospital di Kota Kashan sepanjang tahun 2012 hingga 2013. Penulis menetapkan responden berdasarkan kriteria inklusi, yaitu berusia antara 18 sampai 60 tahun, memiliki tingkat kesadaran penuh, mampu menulis dan membaca dengan baik, mengalami nyeri akut sedang sampai berat (bukan nyeri kronik) yang diukur menggunakan Visual Analog Scale (VAS, yaitu salah satu instrumen untuk mengukur skala nyeri), tidak sedang mengkonsumsi sedatif dan alkohol, tidak memiliki gangguan mental dan masalah pendengaran, memiliki nilai hemodinamik yang stabil, dan menjalani operasi jantung untuk pertama kalinya (CABG ataupun penggantian katup jantung). Pasien yang terpasang ventilator dan yang sedang mendapatkan terapi manajemen nyeri (selain terapi musik dan terapi obat) termasuk ke dalam kriteria eksklusi dalam studi ini.
Dalam artikel jurnal 2, penulis menggunakan studi randomized controlled trial dengan desain repeated measures yang melibatkan 112 pasien pada 2 Rumah Sakit Tersier di Wuhan, China selama bulan November 2013 hingga bulan Maret 2014. Penulis menetapkan responden berdasarkan kriteria inklusi, yaitu pasien yang terdaftar menjalani operasi toraks, berusia minimal 18 tahun, memiliki tingkat kesadaran penuh, berorientasi baik terhadap orang, waktu, tempat, dan situasi, mampu membaca dan berbicara dengan bahasa Cina, memahami Bahasa Cina dengan baik sehingga mampu bekerja sama dalam melengkapi kuesioner dan informed consent. Sedangkan kriteria eksklusi dalam studi ini yaitu pasien dengan gangguan penglihatan dan pendengaran, tidak mampu melengkapi kuesioner dari penulis, tidak ingin berpartisipasi menjadi responden, serta pasien yang sedang menjalani operasi kegawatan atau pasien yang dipindahkan ke ruang ICU akibat status kesehatan yang memburuk.
Penulis pada artikel jurnal 1 membagi secara acak 60 responden menjadi dua kelompok, yaitu 30 pasien sebagai kelompok eksperimen dan 30 pasien lainnya sebagai kelompok kontrol, kemudian mengumpulkan data responden yang meliputi data demografi (usia, jenis kelamin, status perkawinan, jenis operasi, tingkat pendidikan) dan skala nyeri pasien (VAS). Penulis memilih penggunaan VAS sebagai instrumen untuk menilai skala nyeri karena telah teruji validitas dan reliabilitasnya (Etri, et al, 2012; Xu X, et al, 2013 dalam Ajorpaz, et al, 2014). Data yang diperoleh penulis dianalisis menggunakan aplikasi SPSS versi 14. Data dengan distribusi yang normal diolah menggunakan Kolmogorov-Smirnov test, sedangkan data dengan distribusi yang tidak normal diolah menggunakan Mann-Whitney-U test. Untuk membandingkan nominal variabel pada kedua kelompok, digunakan Chi-square dan Independent t-test. Independent t-test juga digunakan untuk membandingkan perbedaan statistik nilai intensitas nyeri pada kedua kelompok. Dikatakan memiliki perbedaan yang signifikan apabila nilai p value < 0,05.
Penulis pada artikel jurnal 2 membagi 112 responden menjadi dua kelompok berdasarkan hari masuk / pendaftaran ke rumah sakit. Kelompok eksperimen terdiri dari  56 pasien yang masuk rumah sakit pada tanggal ganjil, sedangkan kelompok kontrol terdiri atas 56 pasien yang masuk rumah sakit pada tanggal genap. Penulis menggunakan Faces Pain Scale (FPS) sebagai instrumen nyeri karena terbukti valid, reliabel, dinilai paling akurat dan mudah dipahami untuk menilai nyeri pada pasien dewasa dan pasien dengan penyakit berat (Liu Y, et al, 2009; Stuppy DJ, 1998 dalam Liu, et al, 2015). Instrumen yang digunakan untuk mengukur tingkat kecemasan adalah The State-trait Anxiety  Inventory (STAI). Tanda-tanda vital yang diukur meliputi tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, denyut jantung (Heart Rate), dan frekunsi pernapasan (Respiratory Rate) dimana pengukuran menggunakan sphygmomanometer dan stopwatch. Dilakukan juga pemantauan penggunaan Diclofenac Sodium Suppository (DSS) dan Patient Controlled Analgesia (PCA) untuk mengetahui apakah pasien membutuhkan opioid atau analgesik lebih sedikit atau sebaliknya.
Data yang diperoleh penulis dianalisis menggunakan aplikasi SPSS versi 21. Karakteristik responden dan hasil studi akan dianalisis menggunakan Descriptive Statistics. Ada tidaknya perbedaan yang signifikan pada data demografi diantara kedua kelompok dianalisis menggunakan Chi-square test. Ada tidaknya perbedaan yang signifikan pada tingkat kecemasan dan nilai tanda-tanda vital dianalisis menggunakan  Independent t-test. Tingkat kecemasan dan tanda-tanda vital dinilai dan dianalisis menggunakan Repeated Measures of Analysis of Variance (RENOVA). Ada tidaknya perbedaan yang signifikan pada nilai intensitas nyeri dianalisis menggunakan model pendekatan  marginal (GEE analysis). Dikatakan memiliki perbedaan yang signifikan apabila nilai p value < 0,05.
Dalam artikel jurnal 1, studi dilakukan setelah mendapat persetujuan oleh deputi penelitian dan komite etik Ilmu Medis Universitas Kashan, telah memperoleh persetujuan responden yang dibuktikan dengan lembar informed consent, serta telah dilakukannya penjelasan mengenai protokol dan prosedur oleh penulis kepada responden. Pengambilan data dilakukan ketika ICU dalam keadaan tidak ramai, sekitar pukul 3 p.m. dan 4 p.m. dimana pasien sedang tidak dalam menjalani prosedur invasif maupun non invasif. Setiap responden, baik dalam kelompok eksperimen maupun kontrol, tetap mendapat perawatan standar (meliputi medikasi 50 mg Pethidine, beta receptor blocker, dan 3-5 L/menit oksigen) dan dibawah pengawasan dokter spesialis kardiovaskuler.
Sebelum dilakukan intervensi, penulis memberikan bantuan dengan memposisikan responden serileks dan senyaman mungkin. Pada kelompok eksperimen, responden diberikan headphone dan diperdengarkan musik sedatif selama 30 menit, dimana volume diatur oleh responden. Musik sedatif adalah jenis musik yang tidak terkandung lirik, ritme, dan perkusi di dalamnya, namun hanya terdapat melodi dengan kecepatan 60 – 80 kali per menit. Musik sedatif tersebut merupakan musik yang dipillih oleh ahli musik dan dipertimbangkan berdasarkan faktor budaya. Sedangkan, kelompok kontrol hanya diberikan headphone tanpa diperdengarkan musik. Selama intervensi, penulis menciptakan lingkungan yang mendukung ketenangan dengan menutup pintu dan memberikan tanda agar setiap pengunjung maupun petugas kesehatan tidak membuat kebisingan dan keributan. Setelah intervensi selesai dilakukan, penulis segera mengevaluasi intensitas nyeri pada kedua kelompok dengan penilaian menggunakan VAS.
Dalam artikel jurnal 2, studi dilakukan setelah mendapat persetujuan etik oleh kepala rumah sakit dan The Human Ethical Committe of Wuhan University HOPE School of Nursing, responden telah memenuhi kriteria inklusi dan memperoleh persetujuan yang dibuktikan dengan lembar informed consent, telah dilakukannya penjelasan mengenai protokol dan prosedur oleh penulis kepada responden, termasuk mengenai data-data demografi pasien. Pengambilan data atau intervensi dilakukan selama tiga hari. Penulis melakukan pre-test kepada kedua kelompok (eksperimen dan kontrol) dengan mengkaji nilai nyeri, kecemasan, dan tanda-tanda vital. Kemudian, melakukan intervensi pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Setelah intervensi selesai dilakukan, penulis segera melakukan post-test kepada kedua kelompok (eksperimen dan kontrol)  dengan mengevaluasi nilai nyeri, kecemasan, dan tanda-tanda vital. Penulis memberikan musik kepada responden pada kelompok kontrol yang menginginkan dan meminta musik.
Kelompok eksperimen diberikan intervensi dengan pemutaran musik yang diberikan melalui earphones. Musik yang digunakan adalah musik lembut atau soft music selama 30 menit dengan kecepatan 60 – 80 kali per menit, dimana responden lah yang melakukan pengaturan volume. Soft music adalah jenis musik yang memiliki ritme dan  melodi yang mampu memberikan efek tenang dan konsentrasi yang baik (MacClelland, 1982 dalam Liu, et al, 2015). Sedangkan, kelompok kontrol hanya diberikan perawatan standar tanpa intervensi terapi musik. Selama intervensi, penulis menciptakan lingkungan dengan baik seperti me-non-aktifkan handphone, menutup pintu, mengeliminasi distraksi, dan menjaga responden terhadap pengalihan / distraksi. Penulis juga memandu responden pada kelompok eksperimen untuk bernapas dengan halus / tenang, tetap rileks, dan fokus terhadap musik.
Dalam artikel jurnal 1, diperoleh sebanyak 43,3% responden berusia 50-65 tahun dan 56,6% berjenis kelamin laki-laki yang berstatus menikah. Hasil studi menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan terhadap nilai intensitas nyeri pada kedua kelompok sebelum dilakukan intervensi karena nilai p value 0,21. Namun, terdapat temuan perbedaan yang signifikan terhadap nilai intensitas nyeri pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol post intervention dimana nilai p value yaitu 0,04. Selain itu, nilai signifikan juga diperoleh dari perbandingan nilai rata-rata intensitas nyeri sebelum dan sesudah dilakukan intervensi terapi musik selama 30 menit pada kelompok eksperimen dengan nilai p value 0,01. Hasil tersebut menjelaskan bahwa musik mampu menurunkan nyeri pasien setelah dilakukannya operasi jantung terbuka.
Efektivitas terapi musik kemungkinan akan berbeda apabila pemberian musik dilakukan pada waktu yang tidak tepat, budaya pasien yang tidak sama, dan jenis penyakit yang berbeda. Terdapat hubungan antara musik dengan ketenangan pasien (Woldendorp, et al, 2013 dalam Ajorpaz, et al, 2014). Semakin baik musik yang dipilih (musik kesukaan pasien), maka pasien akan semakin merasa tenang / rileks. Setiap jenis musik mampu memberikan pengaruh yang positif terhadap penurunan intensitas nyeri post operatif apabila musik yang diberikan sesuai dengan budaya lokal dan nasional pasien, diberikan selama 30 menit atau lebih dengan kondisi pasien yang mampu kooperatif untuk berkonsentrasi penuh terhadap intervensi yang diberikan (Chlan, et al, 2013 dalam Ajorpaz, et al, 2014). Musik sedatif merupakan jenis musik yang lebih disenangi karena mampu merilekskan tubuh dan memfokuskan konsentrasi pasien sehingga nyeri akan terdistraksi dari pikiran dan persepsi pasien (Chlan, et al, 2013; Gelinas, et al, 2013; Chen, et al, 2014 dalam Ajorpaz, et al, 2014).
Dalam artikel jurnal 2, diperoleh rata-rata responden berjenis kelamin laki-laki dengan tingkat pendidikan SD dan berstatus menikah. Hasil studi menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan terhadap skala nyeri, kecemasan, tekanan darah sistolik, dan Heart Rate pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dimana nilai p value menunjukkan 0,019. Namun, tidak terdapat perbedaan yang signifikan terhadap tekanan darah diastolik, Respiratory Rate, penggunaan Diclofenac Sodium Suppository (DSS) dan Patient Controlled Analgesia (PCA) karena p value lebih dari 0,05, yaitu 0,59. Akan tetapi, dari total 56 responden pada kelompok eksperimen, terdapat 42 pasien mengatakan bahwa mereka menyukai musik yang diperdengarkan, 32 pasien mengatakan nyerinya berkurang, dan 36 pasien menyatakan kecemasan berkurang setelah mendengarkan musik.
Terdapat beberapa kekurangan dalam artikel jurnal 1, diantaranya studi dilakukan hanya pada satu area ICU dalam satu rumah sakit (karena pengumpulan data pun dilakukan hanya oleh satu orang) sehingga hasil belum tentu efektif apabila diterapkan di ruang ICU pada rumah sakit lain. Kemudian, pemilihan musik didasarkan oleh ahli musik dengan pertimbangan faktor budaya. Hal ini membatasi hak pasien untuk memilih musik sesuai dengan kesukaan dan mood pasien. Selain itu, pertimbangan faktor budaya oleh ahli musik belum tentu tepat apabila dikaitkan dengan kondisi pasien secara khusus. Kekurangan selanjutnya yaitu penulis hanya mengevaluasi nilai nyeri yang dibandingkan pada kelompok eksperimen-kontrol dan pre-post intervensi, namun tidak mengevaluasi nilai lain yang juga berpengaruh terhadap recovery pasien, seperti tingkat kecemasan dan nilai tanda-tanda vital. Dalam penulisan studi ini, penulis hanya menunjukkan waktu studi sepanjang tahun 2012 hingga 2013, tidak menjelaskan kapan studi mulai dilakukan dan kapan tepatnya studi berakhir. Hal ini dapat mempengaruhi perbedaan persepsi bagi setiap pembaca.
Terdapat beberapa kekurangan dalam artikel jurnal 2, diantaranya pemilihan musik didasarkan oleh pilihan penulis. Hal ini membatasi hak pasien untuk memilih musik sesuai dengan kesukaan dan mood pasien sehinga memungkinkan dapat mengganggu atau mengurangi keefektifan dari terapi musik. Kekurangan selanjutnya yaitu terdapat ketidakadilan perlakuan pada kelompok kontrol. Kelompok kontrol sejatinya memang tidak mendapat perlakuan khusus layaknya pada kelompok eksperimen. Namun, penulis sedikit menyeimbangkan atensi dengan memberikan musik kepada responden kelompok kontrol yang meminta musik tersebut. Terakhir, penulis hanya melakukan intervensi selama tiga hari. Berdasarkan studi sebelumnya, keefektifan terapi musik akan lebih baik apabila diterapkan dalam jangka waktu yang lama. Namun, hal ini bukan merupakan kekurangan yang menjadi masalah.
Manajemen rumah sakit dalam mengatasi nyeri pada pasien post operatif adalah dengan memberikan terapi medikasi. Padahal, banyak penatalaksanaan non farmakologi yang mampu mengatasi nyeri post operatif. Selain biaya lebih terjangkau, penatalaksanaan non farmakologi juga memiliki efek samping yang lebih sedikit. Penatalaksanaan non farmakologi sering dikenal dengan istilah terapi komplementer. Salah satu jenis terapi komplementer adalah terapi musik. Dalam melakukan terapi musik, perlu diperhatikan pemilihan jenis musik, misalnya musik sedatif, soft musik, atau jenis musik lainnya yang tentunya disesuaikan dengan pilihan pasien, familiar bagi pasien, dan sesuai dengan konteks budaya pasien.
Berdasarkan kedua artikel jurnal yang dianalisis, terdapat banyak manfaat yang diperoleh. Terapi musik terbukti dapat dijadikan intervensi keperawatan non invasif untuk mengurangi nyeri. Selain mudah diimplementasikan, terapi musik juga mudah dipelajari, dan aman dilakukan karena tidak memunculkan efek samping. Terapi musik juga dapat diberikan sebagai intervensi mandiri maupun kolaborasi dengan metode lain. Efektivitas terapi musik dibuktikan dengan penurunan intensitas nyeri, kecemasan, peningkatan derajat ketenangan pasien, dan kestabilan tanda-tanda vital pasien, khususnya tekanan darah sistolik dan HR pasien. Diharapkan bagi perawat rumah sakit, perawat ICU khususnya untuk dapat memberikan terapi musik sebagai intervensi keperawatan pada pasien post operatif karena selain terbukti mampu menurunkan intensitas nyeri, juga dapat mereduksi kecemasan dan merilekskan pasien sehingga akan lebih mudah mencapai recovery pasien.



DAFTAR PUSTAKA

Ajorpaz, Neda Mirbagher., Mohammadi, Abouzar., Najaran, Hamed., dan Khazaei Shala. (2014). Effect of music on postoperative pain in patients under open heart surgery. Nurs Midwifery Stud, Volume 3, Nomor 3, Halaman 1 – 6.
Liu, Yang., dan Petrini, Marcia A. (2015). Effects of music therapy on pain, anxiety, and vital signs in patients after thoracic surgery. Complementary Therapies in Medicine, Volume 23, Halaman 714 – 718.

0 komentar:

Post a Comment

Your comments will make my days^^

 

Catatan Rianti © 2010 Web Design by Ipietoon Blogger Template and Home Design and Decor